BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Islam adalah agama yang universal.
Islam mengajarkan kepada manusia berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun
akhirat. Oleh karena itu dikatakan bahwa islam itu adalah merupakan agama ilmu
dan akal. Karna islam selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan akal dan
menuntut ilmu pengetahuan, agar dengan demikian mereka dapat membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, serta dapat memahami hakikat alam, dan dapat
menganalisa pengalaman yang telah dialami oleh umat-umat yang lalu. Manusia
pada dasarnya adalah makhluk terbaik, dari sekian banyak makhluk lainnya yang
diciptakan oleh Allah SWT. Manusia oleh Allah SWT di beri kehormatan bahkan
lebih dari itu, dan diangkat sebagai “khalifah Allah” di bumi ini, kemudian
Allah memberikan beberapa potensi kepada
manusia, salah satunya adalah potensi akal. Karena dengan akal dan pikiran
manusia dapat menerima, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan melalui
proses panjang dengan berbagai kegiatan, bimbingan, pengajaran dan
latihan-latihan yang kesemuanya merupakan sistem pendidikan. Dalam hubungannya
dengan proses kependidikan yang berlaku bagi manusia itu, menurut ajaran islam
dipandang sebagai suatu perkembangan alamiah manusia, yaitu suatu proses yang
harus terjadi terhadap diri manusia. Oleh karena hal tersebut merupakan pola
perkembangan hidupnya yang telah ditentukan Allah, atau dikatakan sebagai
“sunnatullah”.
Sedangkan pendidikan sebagai usaha
membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang juga, dengan hasil
yang tidak dapat diketahui dengan segera. Berbeda dengan membentuk benda mati
yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginanpembuatannya. Dalam proses
pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan hati-hati
berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran atau teori yang tepat, sehingga
kegagalan atau kesalahan-kesalahan langkah pembentukannya terhadap anak didik
dapat dihindarkan. Oleh karena itu objek dan sasaran pendidikan adalah makhluk
yang sedang tumbuh dan berkembang yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila
salah bentuk, maka akan sulit memperbaikinya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan
hakikat manusia menurut islam. Yang akan memberikan penjelasan tentang
persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain, tujuan penciptaan manusia,
fungsi dan peranan manusia dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah dibumi.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana Konsep Manusia dalam islam?
2.
Apa Persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain?
3. Apa Tujuan Penciptaan Manusia?
4. Apa saja Fungsi dan Peranan Manusia dalam Islam?
5. Bagaimana Tanggung jawab manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah?
BAB
II
KONSEP
MANUSIA DALAM ISLAM
A. Pengertian
Konsep Manusia
Berbicara dan
berdiskusi tentang manusia selalu menarik. Karena selalu menarik, maka masalahnya
tidak pernah selesai dalam artian tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk
psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai. Selalu ada
saja pertanyaan mengenai manusia (Nawawi, 1996 : 1). Manusia merupakan makhluk
yang paling menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi,
sangat terbuka, dan mempunyai potensi yang agung.
Timbul
pertanyaaan siapakah manusia itu? Pertanyaan ini nampaknya amat sederhana, tetapi
tidak mudah memperoleh jawaban yang tepat. Biasanya orang menjawab pertanyaan tersebut
menurut latar belakangnya, jika seseorang yang menitik beratkan pada kemampuan manusia
berpikir, memberi pengertian manusia adalah "animal rasional", "hayawan
nathiq" "hewan berpikir". Orang yang menitik beratkan pada
pembawaan kodrat manusia hidup bermasyarakat, memberi pengertian manusia adalah
"zoom politicon", "homo socius", "makhluk sosial".
Orang yang menitik beratkan pada adanya usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan
hidup, memberi pengertian manusia adalah "homo economicus", "makhluk
ekonomi". Orang yang menitik beratkan pada keistimewaan manusia
menggunakan simbul-simbul, memberi pengertian manusia adalah "animal
symbolicum". Orang yang memandang manusia adalah makhluk yang selalu
membuat bentuk-bentuk baru dari bahan-bahan alam untuk mencukupkan kebutuhan
hidupnya, memberi pengertian manusia adalah "homo faber",
(Basyir, 1984 : 7)
1. Manusia
dalam arti Fisolofi
Pembahasan
makna dari siapa manusia sebenarnya telah lama berlangsung, namun sampai
sekarang pun tidak ada satu kesatuan dan kesepakatan pandangan berbagai teori
dan aliran pemikiran mengenai manusia ini sendiri. Kadang kala studi tentang
manusia ini tidak utuh karena sudut pandangnya memang berbeda. Antropologi
fisik, misalnya, memandang manusia hanya dari segi fisik-material semata,
sementara antropologi budaya mencoba meneliti manusia dari aspek budaya.
Sepertinya, manusia sendiri tak henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri dan
mencari jawaban akan apa, dari apa dan mau kemana manusia itu. Pemahaman
manusia yang tidak utuh tentang manusia dapat berakibat fatal bagi perlakuan
seseorang terhadap sesamanya. Misalnya saja pandangan dari teori evolusi yang
di perkenalkan Darwin pada abad XIX1. Bisa saja pandangan Darwin tersebut akan
menimbulkan sikap kompetitif dalam segala hal, baik ekonomi, politik, budaya,
hukum pendidikan maupun lainnya, bahkan akan menghalalkan berbagai macam cara.
Maka, agar dapat dipahami tentang hakekat manusia secara utuh, ada beberapa
pendapat atau pandangan tentang manusia ini.
a. Aliran
materialisme. Aliran ini memandang manusia sebagai kumpulan dari organ tubuh,
zat kimia dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi.
Manusia berasal dari materi, makan,minum, memenuhi kebutuhan fisik-biologis dan
seksual dari materi dan bilamana mati manusia akan terkapar dalam tanah lalu
diuraikan oleh benda renik hinggga menjadi humus yang akan menyuburkan
tanaman,sedangkan tanaman akan dikonsumsi manusia lain yang dapat memproduksi
fertilitas sperma, yang menjadi bibit untuk menghasikan keturunan dan kelahiran
anak manusia baru. Dengan demikian bahwa aliran berpendapat bahwa manusia itu
berawal dari materi dan berakhir menjadi materi kembali. Orang yang
berpandangan materiliastik tentang manusia dapat berimplikasi pada gaya hidupnya
yang juga materiliastik, tujuan hidupnya tidak lain demi materi dan kebahagian hidupnya
pun diukur dari seberapa banyak materi yang ia kumpulkan. Gaya hidup ini tercermin
dari hidupnya yang glamour atau hura-hura dalam menikmati hidupnya.
b. Aliran
spiritualisme atau serba roh. Aliran ini berpandangan hakekat manusia adalah
roh atau jiwa, sedang zat atau materi adalah manifestasi dari roh atau jiwa.
Aliran ini berpandangan bahwa bahwa ruh lebih berharga lebih tinggi nilainya
dari materi. Hal ini dapat kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya seorang wanita atau pria yang kita cintai kita tidak mau pisah
dengannya. Tetapi, kalau roh dari wanita atau pria tersebut tidak ada pada
badannya, berarti dia sudah meninggal dunia, maka mau tidak mau harus melepaskan
dia untuk dikuburkan. Kecantikan, kejelitaan, kemolekan, dan ketampanan yang dimiliki
oleh seorang wanita atau pria tak ada artinya tanpa adanya roh. Orang yang
berpandangan dengan aliran ini, dia isi hidupnya dengan penuh dimensi rohani, pembersihan
jiwa dari ketertarikan dengan unsur materi miskipun dia harus hidup dengan penderitaan
dan hidup dengan kesederhanaan, mereka tinggal dengan menyisihkan diri dari masyarakat
dan hidup dengan selalu beramal ibadah.
c. Aliran
Dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari
dua substansi, yaitu jasmani dan rohani, badan dan roh. Kedua substansi ini
masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Jadi, badan tidak berasal dari roh, juga sebaliknya roh tidak berasal dari
badan. Hanya dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan roh yang
berintegrasi membentuk manusia. Antara keduanya terjalin hubungan sebab akibat.
Artinya anatara keduanya terjalin saling mempengaruhi. Misalnya, orang yang
cacat jasmaninya akan berpengaruh pada perkembangan jiwanya. Begitu pula sebaliknya,
orang yang jiwanya cacat akan berpengaruh pada fisiknya. Paham dualisme ini tidaklah
otomatis identik dengan pandangan Islam tentang manusia.
Menurut
Murtadlo Munthahari, manusia adalah makhluk serba dimensi (1992:125). Hal ini
dapat dilihat dari dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan
hewan yang membutuhkan makan, minum, istirahat dan menikah supaya ia dapat
tumbuh dan berkembang.
Dimensi
kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin
memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian. Dimensi ketiga, manusia
memiliki perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia memiliki
dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan
kekuatan yang berlipat ganda, karena ia dikarunia akal, pikiran dan kehendak
bebas, sehingga ia mampu menahan hawa nafsu dan menciptakan keseimbangan dalam
hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya (Assegaf, 2005: 57).
2. Manusia
Menurut Pandangan Islam
Al-Qur'an
memperkenalkan tiga istillah kunci (key term) yang digunakan untuk menunjukkan
arti pokok manusia, yaitu al-insan, basyar dan Bani Adam2.
a. Kata
al-insan dalam al-Qur'an sebanyak 65 kali dipakai untuk manusia yang tunggal, sama
seperti ins. Sedangkan untuk jamaknya dipakai kata an-naas, unasi,
insiya, anasi. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan menggunakan
kata alinsan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang
istimewa, secara moral maupun spiritual yang tidak dimiliki oleh makhluk
lainnya. Keunggulan manusia terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk
yang diciptakan dengan kualitas ahsani taqwim, sebaik-baik penciptaan. Kata
al-insan dipakai untuk menyebut manusia dalam konteks kedudukan manusia sebagai
makhluk yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Pertama, manusia sebagai makhluk
berfikir. Kedua, makhluk pembawa amanat. Ketiga, manusia sebagai makhluk yang
bertanggung jawab pada semua yang diperbuat.
Kata
insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa,
maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya
kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran (Asy'arie, 1992
: 22) Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang
dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan
(M.Quraish Shihab, 1996 : 280).
Kata
insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk
adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap
seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut.
Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang
seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran
terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja
lupa terhadap sesuatu kewajiban. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia
yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak
dan harmonis, (Asy'arie, 1996 :20) karena manusia pada dasarnya dapat
menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai
kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun
alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk
yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah.
b. Kata
basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan,
baik satu ataupun banyak. Kata ini memberikan referensi kepada manusia sebagai
makhluk biologis yang mempunyai bentuk tubuh yang mengalami pertumbuhan dan
perekembangan jasmani. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang
berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan
berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak
35 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna [dua] untuk
menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia
seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa
"Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu [QS.
al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang
menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian
manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan
kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum (3) : 20] "Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah, ketika kamu
menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di sini bisa diartikan
berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezki [M.Quraish
Shihab,1996 : 279]. Penggunaan kata basyar di sini "dikaitkan
dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul
tanggung jawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar
[perhatikan QS al-Hijr (15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS.
al-Baqarah (2) : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya
mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia [Shihab,1996 :
280]. Musa Asy'arie [1996 : 21], mengatakan bahwa manusia dalam pengertian
basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung
pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai
pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan,
pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian
kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian
yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran,
sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang
menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati.
c. Kata
al-Nas. Kata ini mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam
arti al-nas ini paling banyak disebut dalam al-Qur’an yaitu 240 kali.
Bisa dilihat dalam seluruh ayat yang menggunakan kata, Ya ayyuha nl-nas.
Penjelasan konsep ini dapat ditunjukkan dalam dua hal. Pertama, banyak ayat
yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya masing-masing
yang satu dengan yang lain belum tentu sama. Ayat ini menggunakan kata wa
mina n-nas (dan diantara manusia). Kedua, pengelompokkan manusia
berdasarkan mayoritas, yang umumnya menggunakan ungkapan aktsara n-nas (sebagian
besar manusia) (Hasan, 2004: 131-132).
3. Asal
Kejadian Manusia
Asal
usul manusia dalam pandangan Islam tidak terlepas dari figur Adam sebagai manusia
pertama. Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan Allah di muka bumi dengan
segala karakter kemanusiaannya, yang memiliki sifat kesempurnaan lengkap dengan
kebudayaannya sehingga diangkat menjadi khalifah di muka bumi, sesuai dengan
firman Allah:
Artinya :”Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat “Sesungguhya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan
(khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
engkau?” Tuhan berfirman:”sesungguhnya aku mengetahui apa yan tidak kamu
ketahu”. (QS.al-Baqarah : 30)
Manusia
yang baru diciptakan Allah itu adalah Adam yang memiliki intelegensi yang paling
tinggi dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya dan memiliki nilai-nilai
kemanusiaan. Sehingga manusia dapat membentuk kebudayaannya. Dalam al-Qur’an
dijelaskan tentang proses penciptaan manusia yang berawal dari percampuran
antara laki-laki dengan perempuan yang tahapan pembuahan sperma dalam janin melalui
lima tahap: al-nutfah3, al-‘alaqah4, al-mudhgah5, al-‘idham6, dan al-lahm7.
Sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 12-14,
Artinya
:”Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah,
dan segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
kami jadikan segumpal daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang(berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik”. (QS.
al-Mu’minun ayat 12-14)
Menurut
embriologi, proses kejadian manusia ini terbagi dalam tiga periode:
a. Periode
pertama, periode ovum. Periode ini dimulai dari fertilasi (pembuahan) karena adanya
pertemuan antara sel kelamin laki-laki (sperma) dengan sel perempuan (ovum), yang
kedua intinya bersatu dan membentuk suatu zat yang baru disebut zygote. Setelah
fertislasi berlangsung, zygote membelah menjadi dua, empat, delapan, enam belas
sel dan seterusnya. Selama pembelahan ini, zygote bergerak menuju ke kantong
kehamilan kemudian melekat dan akhirny masuk ke dinding rahim. Peristiwa ini
dikenal dengan istilah implantasi.
b. Periode
kedua, periode embrio yaitu periode pembentukan organ. Terkadang organ tidak terbentuk
dengan sempurna atau sama sekali tidak terbentuk, misalnya jika hasil pembelahan
zygote tidak bergantung atau berdempet pada dinding rahim. Ini yang dapat mengakibatkan
keguguran atau kelahiran dengan cacat bawaan.
c. Periode
ketiga periode foetus yaitu periode perkembangan dan penyempurnaan organ, dengan
pertumbuhan yang amat cepat dan berakhir dengan kelahiran (Assegaf, 2005 : 105).
Dengan demikian bahwa antara
al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 12-14 ada kesesuaian dengan embriologi dalam
proses kejadian manusia, nyata bahwa dalam periode ketiga yang disebut
al-Qur’an sebagai al-mudghah merupakan periode kedua menurut embriologi
(periode embrio). Dalam periode inilah terbentuknya organ-organ penting. Adapun
periode keempat dan kelima menurut al-Qur’an sama dengan periode ketiga atau foetus.
B. Persamaan
dan perbedaan manusia dengan makhluk lain
Manusia pada hakekatnya sama saja dengan
makhluk hidup lainnya, yaitu memiliki hasrat dan tujuan. Ia berjuang untuk
meraih tujuannya dengan didukung oleh pengetahuan dan kesadaran. Perbedaan
diantara keduanya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan keunggulan
yang dimiliki manusia dibanding dengan makhluk lain.
Menurut ajaran Islam, manusia dibanding
dengan makhluk yang lain, mempunyai berbagai ciri (Ali, 1998: 12-19), antara
lain ciri utamanya yaitu:
a.
Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk
yang baik, ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Sesuai dengan firman Allah :
Artinya
: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaikbaiknya,” (QS. at-Tiin: 4)
b. Manusia
memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada
Allah.
c.
Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Tugas manusia untuk mengabdi kepada Allah dengan tegas dinyatakan-Nya dalam
al-Qur’an surat az-Zariyat ayat 56,:
Artinya
: “Tidak Kujadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS.
az-Zariyat : 56)
d.
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya
di bumi. Hal ini dinyatakan dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 :
Artinya
: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata : “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?, Tuhan berfirman; “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui. (QS. al-Baqarah: 30)
e. Di
samping akal, manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kemauan atau kehendak.
Dengan akal dan kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada Allah, menjadi
muslim; tetapi dengan akal dan kehendaknya juga manusia tidak percaya, tidak tunduk
dan tidak patuh kepada kehendak Allah bahkan mengingkarinya (kafir). Karena itu
dalam surat al-Kahfi ayat 29 menyebutkan :
Artinya
: “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaknya ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir)biarla ia kafir” (QS. al-Kahfi : 29)
f.
Secara individual manusia bertanggung jawab atas
segala perbuatannya. Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:
Artinya
“…setiap seorang (manusia) terikat (dalam arti bertanggung jawab) terhadap apa
yang dilakukannya”. (QS. at-Thur : 21)
g. Berakhlak.
Berakhlak merupakan utama dibandingkan dengan makhluk lainnya. Artinya, manusia
adalah makhluk yang diberi Allah kemampuan untuk membedakan yang baik dengan
yang buruk.
C.
Tujuan Penciptaan
Manusia
Keberadaan manusia di muka bumi ini
bukanlah untuk main-main, senda gurau, hidup
tanpa arah atau tidak tahu dari
mana datangnya dan mau kemana tujuannya. Manusia yang
merupakan bagian dari alam semesta
inipun diciptakan untuk suatu tujuan. Allah menegaskan
bahwa penciptaan manusia dalam
firman-Nya surat adz-Dzariyat : 56
Artinya “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengababdi
kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56)
Dari ayat
tersebut dapat diambil pemahaman bahwa, kedudukan manusia dalam sistem penciptaannya
adalah sebagai hamba Allah. Kedudukan ini berhubungan dengan hak dan kewajiban
manusia di hadapan Allah sebagai penciptanya. Dan tujuan penciptaan manusia adalah
untuk menyembah kepada Allah SWT. Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan
kebutuhan manusia terhadap terhadap terwujudnya sesuatu kehidupan dengan tatanan
yang baik dan adil. Karena manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang
paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu
mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan
melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling
mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini sesuai dengan fitrahnya
masing-masing.
Secara rinci,
sebab-sebab kemulian manusia itu adalah :
a. Bahwa
manusia tidak berasal dari jenis hewan sebagaimana dikatakan dalam teori evolusi,
melainkan berasal dari Adam yang diciptakan dari tanah.
b. Dibandingkan
dengan makhluk lain, manusia memiliki bentuk fisik yang lebih baik, sekalipun
ini bukan perbedaan yang fundamental (Q.S at-Tin:4).
c. Manusia
mempunyai jiwa dan rohani, yang didalamnya terdapat rasio, emosi dan konasi.
Dengan akal, manusia berfikir dan berilmu, dan dengan ilmu manusia menjadi maju.
Bahkan dengan ilmu manusia menjadi lebih mulia daripada jin dan malaikat, sehingga
mereka diminta oleh Allah untuk sujud, menghormati kepada manusia, yakni Adam
a.s (Q.S al-Baqarah: 31-34).
d. Untuk
mencapai kemulian martabat manusia tersebut, manusia perlu berusaha sepanjang
hidupnya melawan hawa nafsunya sendiri yang mendorong pada kejahatan. Hal ini
berbeda dengan binatang yang hanya hidup hanya menuruti insting nafsunya karena
tidak mempunyai akal, dan malaikat yang selalu berbuat baik secara otomatis karena
tidak memiliki hawa nafsu.
e. Manusia
diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menjadi penguasa
yang mengelola dan memakmurkan bumi beserta isinya dengan sebaikbaiknya (Q. S
al-Baqarah : 30) Diciptakannya segala sesuatu di muka bumi ini oleh Allah
adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri (Q.S al-Baqarah: 29)
f. Manusia
diberi beban untuk beragama (Islam) sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas
kekhalifaannya. Karenanya, manusia akan diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan
tugasnya tersebut (Q.S al-Qiyamah: 36).
D. Fungsi
dan Peranan Manusia dalam Islam
Dalam al-Qur’an, manusia berulang kali
diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya
secara positif. Al-Qur’an
mengatakan bahwa manusia itu pada prinsipnya condong kepada
kebenaran sebagai fitrah dasar
manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi kecendrungan, yaitu cendrung
kepada kebenaran, cendrung kepada kebaikan, cendrung kepada keindahan, cendrung
kepada kemulian dan cendrung kepada kesucian. Firman Allah dalam al- Qur’an
surah ar-Ruum: 30,
Artinya : “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.
ar-Ruum: 30)
Manusia juga
diciptakan sebagai makhluk yang memiliki tiga unsur padanya, yaitu unsur perasaan,
unsur akal dan unsur jasmani. Ketiga unsur ini berjalan seimbang dan saling
terkait antara satu unsur dengan unsur yang lain. William Stren,
mengatakan bahwa manusia adalah Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan
suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bentuk dan perbuatan, jika
jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia tidak dapat dipakai dalam arti
manusia hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya saja yang berbuat
atau jiwanya saja melainkan keduanya sekaligus. Secara lahiriyah memang
raganya yang berbuat yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan
raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa (Sukirin, 1981 : 17-18).
Jadi unsur yang
terdapat dalam diri manusia yaitu rasa, akal dan badan harus seimbang, apabila
tidak maka manusia akan berjalan pincang. Sebagai contoh; apabila manusia yang
hanya menitik beratkan pada memenuhi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus
dan tenggelam dalam kehidupan spiritual saja, fungsi akal dan kepentingan
jasmani menjadi tidak penting. Apabila manusia menitik beratkan pada fungsi
akal saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang rasionalistis,
yaitu hanya hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal itulah yang akan dapat
diterima kebenaranya. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan
hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang irasional
hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan semata-mata. Selain perhatian yang
terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani atau badaniah,
cendrung kearah kehidupan yang materilistis dan positivistis. Maka al-Qur’an
memberikan hudan kepada manusia, yaitu mengajarkan agar adanya keseimbangan
antara unsur-unsur tersebut, yaitu unsur perasaan terpenuhi kebutuhannya, unsur
akal juga terpenuhi kebutuhannya, demikian juga unsure jasmani terpenuhi
kebutuhannya (Ahmad Azhar asyir, 1984: 8).
E. Tanggung
jawab manusia sebagai hamba dan khalifah Allah
Sebagai makhluk
Allah, manusia mendapat amanat Allah, yang harus dipertanggung
jawabkan di hadapanNya. Tugas hidup
yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas
kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan
memelihara alam. Khalifah berarti
wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah berarti
manusia memperoleh mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif yang memungkinkan
dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk
kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Agar manusia
dapat menjalankan kekhaliannya dengan baik, Allah mengajarkan kepada manusia
kebenaran dalam segala ciptaan Allah melalui pemahaman serta pengusaan terhadap
hukum-hukum yang terkandung dalam ciptaan Allah, manusia dapat menyusun
konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk sesuatu yang baru dalam alam
kebudayaan.
Di samping peran
manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi memiliki kebebasan, ia juga sebagai
hamba Allah (‘abdun). Seorang hamba Allah harus taat dan patuh kepada perintah Allah.
Makna yang esensial dari kata ’abdun (hamba) adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan,
yang kesemuanya hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan,
kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Di dalam Ensiklopedi
Islam untuk Pelajar (2005: 79), menurut ulama ada terdapat empat macam hamba,
yaitu :
1. Hamba
karena hukum, yakni budak
2. Hamba
karena pencipataan, yaitu manusia dan seluruh makhluk hidup
3. Hamba
karena pengabdian kepada Allah, yaitu manusia yang beriman kepada Allah dengan
ikhlas
4. Hamba
karena memburu dunia, yaitu manusia yang selalu memburu kesenangan duniawi dan
melupakan ibadah kepada Allah.
Manusia sebagai hamba Allah (‘abd) adalah
makhluk yang dimuliakan oleh Allah. kemulian manusia dibanding dengan makhluk
lainnya adalah karena manusia dikaruniai akal untuk berfikir dan menimbang
baik-buruk, benar-salah, juga terpuji-tercela, sedangkan makhluk lainnya
tidaklah memperoleh kelebihan seperti halnya yang ada pada manusia.
Namun, walaupun manusia memiliki
kelebihan dan kemulian itu tidaklah bersifat abadi, tergantung pada sikap dan
perbuatannya. Jika manusia memiliki amal saleh dan berakhlak mahmuda (yang
baik), maka akan dipandang mulia disisi Allah dan manusia yang lain, tapi jika
sebaliknya, manusia tersebut membuat kerusakan dan berakhlak mazmumah (yang
jahat), maka predikat kemuliannya turun ke tingkat yang paling rendah dan
bahkan lebih rendah dari hewan. Dua peran yang diemban oleh manusia di muka
bumi sebagai khalifah dan ‘abdun merupakan keterpaduan tugas dan tanggung jawab
yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreatifitas dan amaliyah yang
selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Manusia
merupakan makhluk yang diciptakan Allah dengan segala kesempurnaan dari makhluk
yang lainnya karena manusia dilengkapi dengan akal dan fikiran walaupun manusia
dengan makhluk lainnya sama-sama makhluk ciptaan Allah dan Allah menjadikan
manusia tidak sia-sia karena manusia tersebut dengan akal dan potensi yang
dimilikinya dapat menjadi khalifah dan ‘abdun.
Allah
menciptakan manusia hanya untuk menyembah Allah semata yang memiliki peran yang
sangat ideal yaitu memakmurkan bumi dan memelihara serta mengembangkannya untuk
kemaslahatan hidup manusia. Namun Allah akan meminta pertanggung jawaban sesuai
dengan peranan manusia tersebut yang dilakukan selama di dunia.
B.
Saran
Menurut saran
kelompok kami, kami harap teman-teman berperilaku yang baik sebagai khalifah
Allah yanga ada di bumi. Di samping peran manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi yang memiliki kebebasan, juga sebagai hamba Allah (‘abdun). Seorang
hamba Allah harus taat dan patuh kepada perintah Allah. Makna yang esensial
dari kata ’abdun (hamba) adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan, yang
kesemuanya hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan,
kepatuhan dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Burlinan, 2000. Ragam
Perilaku Manusia Menurut Al-Qur’an, PT Kuala Musi
Raharja, Palembang
Ali, Mohammad Daud, 1998. Pendidikan
Agama Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Assegaf, Abd.Rachman, 2005. Studi
Islam Kontekstual, Gama Media, Yokyakarta
Asy’arie, Musya,1992. Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Lembaga Studi
Filsafat Islam,
Basyir, Ahmad Azhar, 1984. Falsafah
Ibadah Dalam Islam, Perpustakaan Pusat UII,
Yokyakarta,
Bucaille, Maurice, 1992. Asal
Usul Manusia Menurut Bibel Al-qur’an Sains, Mizan, Bandung,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya
Hasan,
Muhammad Tholchah, 2004. Dinamika Kehidupan
2 Komentar Blog:
Masyaalloh banyat ilmu yang saya dapatkan dari ilmu ini, terimakasih kak.
Sama2 semoga berkah☺️