KATA PENGANTAR....
DAFTAR ISI...
Semua anak, khususnya anak sekolah
dasar menampakkan kesenangan belajar dan bahkan mereka ingin mempelajari banyak
hal. Dorongan ingin tahu mereka yang sangat tinggi dapat dilihat dari keinginan
untuk mengeksplorasi lingkungan dengan kemampuan dan dorongan mereka untuk
mengetahui sesuatu dan membuat sesuatu secara kreatif. Mereka senang bermain
boneka, pistol-pistolan dan berbagai macam alat permainan lainnya yang mereka
ciptakan melalui bahan alami seperti daun singkong untuk membuat boneka wayang,
dan dahan pisang untuk membuat pistol-pistolan.Mereka cenderung meniru dan
mencoba apa yang mereka lihat dan ketahui. Mereka memiliki minat yang luas dan
cita-cita yang banyak, walaupun mereka belum menyadari bahwa untuk
mengembangkan minat dan mencapai cita-cita mereka memerlukan pengorbanan dan
kerja keras. Mereka juga belum menyadari perlunya memiliki pengetahuan dan
keterampilan serta kepribadian yang sesuai dengan tuntutan keinginan mereka.
Anak-anak sangat menyenangi belajar, seperti yang kita ketahui dari pendapat (Soepartinah,
P.S., 1981) bahwa sebenarnya anak-anak dapat dan ingin belajar, dan lebih dari
itu, mereka ingin belajar sebanyak-banyaknya dan sesegera mungkin.
Oleh karena itu, guru-guru diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada
anak-anak untuk belajar kreatif sebanyak dan selekas mungkin. Caranya adalah
dengan membuat situasi belajar yang menarik dan sekreatif mungkin sehingga
anak-anak dapat memiliki keinginan untuk kreatif seperti yang dilakukan oleh
gurunya.
Berdasarkan latar belakang yang
penyusun sajikan diatas, maka disini kami dapat merumuskan beberapa permasalahan, diantaranya:
1. Bagaimana
ciri-ciri yang menunjukan kepribadian kreatif itu?
2. Bagaimana
perkembangan kreativitas anak pada usia 0 sampai 10 tahun?
3. Bagaimana peran
pendidik dalam mengembangkan kreativitas anak?
4. Apa
saja kendala-kendala dalam mengembangkan kreativitas
anak?
Tujuan penulisan dari makalah ini,
yaitu:
1.
Untuk
mengetahui ciri-ciri dari kepribadian yang kreatif.
2.
Untuk
mengetahui perkembangan kreativitas anak usia dini.
3.
Untuk
mengetahui peran pendidik dalam mengembangkan kreatifitas anak, serta
kendala-kendala yang dihadapi.
Makalah ini disusun dengan
menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, yang
meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan
sistematika penulisan. BAB II Landasan Teori, mencakup hakikat pendidikan, pengertian
kreativitas, teori kreativitas, dan peningkatan kreativitas dalam sistem
pendidikan. BAB III Pembahasan, meliputi ciri-ciri kepribadian kreatif,
perkembangan kreativitas anak, peran guru dalam mengembangkan kreativitas anak,
serta kendala dalam mengembangkan kreativitas. BAB IV Implikasi Perkembangan
Kreativitas Dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar. Terakhir, BAB V Kesimpulan dan
Saran.
BAB II
LANDASAN
TEORI
Pendidikan mempunyai peranan yang
sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi
pembangunan bangsa dan Negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara
kebudayaan tersebut mengenali, menghargai , dan memanfaatkan sumber daya
manusia dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan
kepada anggota masyarakatnya; kepada peserta didik.
Tujuan pendidikan pada umumnya ialah
menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat
dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan
berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan
masyarakat. Setiap orang ,mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda dan
karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu (yaitu mengidentifikasi dan membina)
serta memupuk (yaitu mengembangkan dan meningkatkan) bakat tersebut, termasuk dari mereka yang berbakat istimewa atau memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa (the gift dan talented).
Renzulli (Munandar, 2004: 6) mengungkapkan bahwa ‘Dulu orang biasanya
mengartikan “anak berbakat” sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ)
yang tinggi. namun sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan
bukan hanya intelegensi (kecerdasan) melainkan juga kreativitas dan motivasi
untuk berprestasi’.
Kreativitas atau daya cipta
memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan tekhnologi, serta dalam
semua bidang usaha manusia lainnya.
“Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berfikir
tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa (unusual) dan
menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan” (Semiawan,
1999: 89)
Selain dari apa yang telah disebutkan diatas, maka untuk memahami
pengertian kreativitas, maka Rhodes (Munandar, 1977) mengemukakan bahwa ada
beberapa tinjauan yang harus dikaji. Adapun definisi kreativitas itu dapat
dikaji melalui the Four P’s of Creativity (Person, Product, Process, and
Press).
Kreativitas sebagai pribadi (person), kreativitas itu mencerminkan
keunikan individu dalam pikiran-pikiran dan ungkapan-ungkapan. Halini
dipertegas oleh Paul Swartz (1963) bahwa kreativitas merupakan ekspresi
tertinggi individualitas manusia.
Kretivitas sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan
kreatif, jika karya itu merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan
bermakna bagi individu dan / atau lingkungan. Lebih jauh diungkapkan oleh Jhon
A. Glover (1980) bahwa ada tempat pemberangkatan yang terbaik, yaitu kriteria
yang dianggap cukup representatif oleh sebagian besar para ahli psikologi dalam
mendefinisikan kreativitas. Kriteria yang dimaksudkan adalah sipat kebaruan (novelty)
dan kegunaan (utility).
Kreativitas sebagai proses (process) yaitu bersibuk diri secara
kreatif yang menunjukan kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam
berfikir. Para ahli yang merumuskan definisi kreativitas berdasarkan proses,
yaitu Spearman (1930) dan Torrance (1974). Spearman (Munandar, 1977)
berpendapat bahwa berfikir kreatif pada dasarnya merupakan proses melihat atau
menciptakan hubungan antara proses sadar dan dibawah sadar. Sementara E. Paul Torrance (Semiawan, 1999:
90) mendefinisikannya sebagai berikut:
‘Creativity, as a process of becoming sensitive to problems, deficiencies,
gaps in knowladge, nissing elements, disharmonies, and so on; identifying the
dificulty; searching for solutions,
making guesses, or formulating hypothesis about the dificiences; testing and
retesting these hypothesis and posibly modifying and retesting; and finally communicating
the result’.
Kreativitas sebagai press, menurut bahasa MacKinnon (Roslnaksky, 1970) The
creative situation, yaitu kondisi dari dalam atau luar, lebih konkritnya
situasi kehidupan atau lingkungan sosial, kultural, dan kerja yang memberikan
kemudahan dan mendorong penampilan fikiran dan tindakan kreatif.
Akhirnya secara komprehensif kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan
berfikir, bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara yang baru dan
tidak biasa (unusual) guna memecahkan berbagai persoalan, sehingga dapat
menghasilkan penyelesaian yang orisinal dan bermanfaat.
1. Teori
Psikoanalisis
Menganggap bahwa proses ketidaksadaran melandasi kreativitas. Kreativitas
merupakan manifestasi dari kondisi
psikopatologis.
2. Teori
Assosiasionistik
Memandang kreativitas sebagai hasil dari proses asosiasi
dan kombinasi antara elemen-elemen yang telah ada, sehingga menghasilkan
sesuatu yang baru.
3. Teori
Gestalt
Memandang kreativitas sebagai manifestasi dari proses
tilikan individu terhadap lingkungannya secara holistik.
4. Teori
Eksistensial
Mengemukakan bahwa kreativitas merupakan proses untuk
melahirkan sesuatu yang baru melalui perjumpaan antara manusia dengan manusia,
dan antara manusia dengan alam. Menurut May (1980), dengan teori eksistensial
ini, setiap perilaku kreatif selalu didahului oleh ‘perjumpaan’ yang intens dan
penuh kesadaran antara manusia dengan dunia sekitarnya.
5. Teori
Interpersonal
Menafsirkan kreativitas dalam konteks lingkungan sosial.
Dengan menempatkan pencipta (kreator) sebagai inovator dan orang di sekeliling
sebagai pihak yang mengakui hasil kreativitas. Teori ini menekankan pentingnya
nilai dan makna dari suatu karya kreatif. Karena nilai mengimplikasikan adanya
pengakuan sosial.
6. Teori
Trait
Memberikan tempat khusus kepada usaha untuk
mengidentifikasi ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik utama kreativitas.
Betapa pentingnya pengembangan kreativitas dalam sistem pendidikan
ditekankan oleh para wakil rakyat melalui Ketetapan MPR-RI No.11/MPR/1983
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai berikut:
“Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan disegala
bidang yang memerluka jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat
sekaligus meningkatkan produktivitas, kreativitas, mutu, dan efisiensi kerja”
(Departemen Penerangan, 1983:60).
Perilaku kreatif adalah hasil dari pemikiran kreatif. Oleh karena itu,
hendaknya sisitem pendidikan dapat merangsang pemikiran, sikap, dan perilaku
kreatif-produktif, di samping pemikiran logis dan penalaran.
Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan
menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya
cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil
resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya. Artinya
dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting dasn disukai ,
mereka tidak terlalu menghiraukan kritik atau ejekan dari orang lain. Merekapun
tidak takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka walaupun
mungkin tidak disetujui oleh orang lain. Orang yang inovatif berani untuk
berbeda, menonjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari tradisi. Rasa percaya
diri,keuletan dan ketekunan membuat mereka tidakcepat putus asa dalam mencapai tujuan mereka.
Thomas edison (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa ‘Dalam melakukan
percobaan ia mengalami kegagalan lebih dari 200 kali, sebelum ia berhasil
dengan penemuan bola lampu yang bermakna bagi seluruh umat manusia; ia
mengungkapkan bahwa ”genius is 1% inpiration and 99% perpiration”.’
Treffinger (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa pribadi yan'g kreatif
biasanya lebih teroganisasi dalam tindakan. Rencana inovatif serta produk
orisinal mereka telah dipikirkan dengan matang lebih dahulu, dengan
mempertimbangkan maslah yang mungkin timbul dan implikasinya.
Tingkat energi, spontanitas, dan kepetualangan yang luar sering biasa
sering tampak pada orang kreatif; demikian pula keinginan yang besar untuk
mencoba aktivitas yang baru dan mengasyikan, misalnya untuk menghipnotis,
terjun payung, atau menjajagi kota atau tempat baru
Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat
melihat masalah dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk
bermain dengan ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Ciri yang lebih serius pada orang berbakat ialah ciri seperti idealisme,
kecenderungan untuk melakukan refleksi, merenungkan peran dan tujuan hidup,
serta makna atau arti dari keberadaan mereka. Anak berbakat lebih cepat
menunjukan perhatian pada masalah orang dewasa, seperti politik, ekonomi,
polusi, kriminalitas, dan masalah lain yang dapat yang mereka amati di dalam
masyarakat.
Ciri kreatif lainnya ialah
kecenderungan untuk lebih tertarik pada hal-hal yang rumit dan misterius.
Misalnya kecendrungan untuk percaya pada yang paranormal. Mereka lebih sering
memiliki pengalaman indra ke enam atau kejadian mistis.
Minat seni dan keindahan juga lebih kuat dari rata-rata. Walaupun tidak
semua orang berbakat kreatif menjadi seniman, tetapi mereka memiliki minat yang
cukup besar terhadap seni, satra, musik,
dan teater.
Sedemikian jauh, tampak seolah pribadi yang kreatif itu ideal. Namun, ada
juga karekteristik dari siswa kreatif
yang mandiri, percaya diri, ingin tahu, penuh semangat, cerdik, tetapi tidak
penurut, hal ini dapat memusingkan kepala guru. Anak kreatif bisa juga bersifat
tidak koperatif, egosentris, terlalu asertif, kurang sopan, acuh tak acuh
terhadap aturan, keras kepala, emosional, menarik diri, dan menolak dominasi
atau otoritas guru. Ciri-ciri tersebut membutuhkan pengertian dan kesadaran,
dalam beberapa kasus membutuhkan koreksi dan pengarahan.
“Penelitian pertama di indonesia tentang ciri-ciri kepribadian yang kreatif
dilakukan pada tahun 1977 dengan membandingkan pendapat tiga kelompok, yaitu
pendapat psikolog, guru, dan orang tua. Alat penelitian yang digunakan ialah
adaptasi dari Torrance, yaitu ideal pupil checklist yang terdiri atas 60 ciri
yang melalui studi empiris. Dari penelitian ini ditemukan perbedaan kelompok
orang yang sangat kreatif dari kelompok orang yang kurang kreatif” (Munandar,
2004: 36).
Ciri-ciri perilaku yang ditemukan pada orang-orang yang memberikan
sumbangan kreatif yang menonjol terhadap masyarakat digambarkan sebagai
berikut: berani dalam pendirian/keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam
berpikir dan mempertimbangkan, bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya,
intuitif, ulet, tidak bersedia menerima pendapat dari otoritas begitu saja.
Kenyataan menunjukan, bahwa guru dan orang tua lebih menginginkan perilaku
sopan, rajin dan patuh dari anak, ciri-ciri yang tidak berkaitan dengan
kreativitas.
Bagaimana pandangan di indonesia tentang ciri-ciri pribadi yang kreatif dan
ciri-ciri yang diinginkan pendidik pada anak? Peringkat dari 10 ciri-ciri
pribadi kreatif yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi (30 orang) adalah
sebagai berikut:
1. Imajinatif
2. Mempunyai
prakarsa
3. Mempunyai
minat luas
4. Mandiri
dalam berfikir
5. Melit
6. Senang
berpetualang
7. Penuh
energi
8. Percaya
diri
9. Bersedia
mengambil risiko
10. Berani dalam pendirian dan
keyakinan.
Bandingkan ciri-ciri tersebut dengan peringkat ciri siswa yang paling
diinginkan oleh guru sekolah dasar dan sekolah menengah (102 orang):
1. Penuh
energi
2. Mempunyai
prakarsa
3. Percaya
diri
4. Sopan
5. Rajin
6. Melaksanakan
pekerjaan pada waktunya
7. Sehat
8. Berani
dalam berpendapat
9. Mempunyai
ingatan baik
10. Ulet
Dari daftar ciri-ciri ini tidak tampak banyak kesamaan antara
ciri-ciri pribadi yang kreatif menurut
pakar psikologi dengan ciri-ciri yang diinginkan oleh guru pada siswa.
Hurlock (Semiawan, 1999: 96) menegaskan bahwa ‘Hasil sejumlah studi
kreativitas menunjukkan bahwa perkembangan kreativitas mengikuti suatu pola
yang dapat diramalkan. Ada sejumlah variasi di dalam pola ini. Demikian juga
ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi-variasi tersebut, diantaranya:
jenis kelamin, status sosio-ekonomi, posisi urutan kelahiran, ukuran besar
anggota keluarga, lingkungan kota versus desa, dan intelegensi’.
Pertama, anak-anak lelaki menunjukkan kreativitas yang lebih tinggi daripada
anak perempuan, terutama di masa-masa perkembangan. Di sebagian masyarakat,
anak lelaki mendapat perlakuan yang berbeda dari anak perempuan. Anak lelaki
mendapat kesempatan yang lebih banyak daripada anak perempuan untuk hidup
mandiri, lebih mendapat kesempatan untuk menghadapi resiko, mendapatkan
kesempatan dari orang tua dan guru untuk berinisiatif dan menampilkan
keasliannya.
Kedua, anak-anak yang berlatar belakang sosio-ekonomis lebih
tinggi cenderung lebih kreatif daripada anak-anak yang berlatar belakang
rendah. Kelompok pertama diduga mendapatkan perlakuan orangtua yang lebih
demokratis, sementara kelompok keduanya lebih banyak mendapat perlakuan
otoriter. Kontrol orangtua yang demokratis dapat memelihara kemampuan kreatif
dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada anak untuk
mengekspresikan individualitasnya dan mengejar minat dan aktivitas menurut
pilihannya sendiri. Yang lebih penting lagi anak-anak yang berlatar belakang
ekonomi tinggi mendapat kesempatan yang lebih banyak utnuk mengakses
pengetahuan dan pengalaman yang diperluakan untuk mengembangkan kreativitas,
misalnya ke tempat-tempat rekreasi, tempat-tempat penting, dan pusat-pusat
informasi yang dapat mendorong anak-anak untuk berimajinasi serta berpikir dan
bertindak secara kreatif.
Ketiga, bahwa anak posisi kelahiran berbeda menunjukkan tingkat
kreativitas yang berbeda. Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa lingkungan
memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada keturunan. Anak tengah dan anak
bungsu memungkinkan lebih kreatif daripada anak sulung. Anak sulung cenderung
mendapat tekanan yang lebih besar untuk memenuhi harapan orang tua daripada
anak berikutnya. Sehingga mereka lebih dikehendaki sebagai konformis daripada
pencetus ide.
Keempat, anak-anak dari keluarga kecil cenderung lebih kreatif
daripada anak-anak dari keluarga besar. Hal ini disebabkan oleh pengasuhan
dalam keluarga besar menuntut sikap yang lebih otoriter guna bisa mengendalikan
anak yang banyak itu. Perlakuan yang otoriter cenderung menghambat perkembangan
kreativitas. Sebaliknya anak dari keluarga kecil cenderung mendapat lebih
banyak perlakuan yang demokratis. Sikap tersebut memungkinkan bisa mendukung
terciptanya suasana dan sikap yang favorable untuk pengembangan kreativitas.
Kelima, anak-anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif
daripada anak-anak dari lingkungan desa, karena yang pertama lebih banyak
mendapatkan lingkungan yang lebih memberikan stimulasi dalam pengembangan
kreativitas. Di kota-kota lebih banyak tempat-tempat, objek-objek, benda-beda,
dan tantangan-tantangan yang mengundang setiap untuk mengembangkan kemampuan
kreatif. Setimulan-setimulan ini mendaorong dan mendukung peningkatan
kreativitas anak-anak kota, pada kenyataanya mereka akhirnya memiliki
kreativitas yang lebih tinggi dari pada anak desa.
Terakhir, untuk anak yang seusia, anak-anak yang cerdas menunjukan
kemampuan kreatif yang lebih dari pada anak-anak yang kurang cerdas. Yang
pertama cenderung memiliki ide-ide yang lebih baru ingin mengatasi situasi
konflik sosial dan mampu merumuskan lebih banyak alternatif pemecahan terhadap
konflik-konflik itu, juga beralasan bahwa anak-anak yang cerdas pada akhirnya
pantas dipilih sebagai pemimpin daripada anak-anak seusianya.
Selain dari pada beberapa faktor yang kontributif bagi variabilitas
kreativitas itu dapat nampak pada usia dini pada anak itu sibuk dalam kegiatan
permainan. Secara berangsur-angsur kreativitas anak dapat dilihat dalam aspek
kehidupan, misalnya dalam kegiatan sekolah, kegiatan rekreasi, dan aktifitas
kerjanya.
Karya-karya kreatif yang produktif
umumnya mencapai puncak usia 40, dan setelah itu cendrung mengalami stagnan dan
secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Lehman menegaskan bahwa pencapaian
prestasi kreativitas yang dicapai pada usia lebih awal sangat besar dipengaryhi
oleh faktor lingkungan, sebaliknya tidak ada bukti yang cukup untuk meyakinkan
bahwa penurunan kreativitas itu akibat dari keterbatasan keturunan.
Bertitik tolak dari apa yang telah tersebutkan diatas, kiranya faktor
eksternal memiliki sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan dan penurunan
kreativitas individu. Spock (hurlock, 1982) menekkankan betapa pentingnya sikap
orang tua pada usia bagi pengembangan kreativitas anak. Demikian juga halnya
sikap guru baik ditaman kanak-kanak dan SD mempunyai nilai penting bagi perkembangan
dan penurunan pontensi kreativitas anak didik.
Arasteh (Semiawan, 1999: 99) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah usia
keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia anak-anak. Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika
anak-anak siap memasuki sekolah, maka belajar bahwa meraka harus menerima
otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang dewasa (
orangtua dan guru). Semakin kaku dalam menetapkan otoritas, maka semakin besar
kemungkinan dapat menggangu perkembangan kreativitas. Pada usia ini seyogyanya
orangtua dan guru mampu memperlakukan peraturan yang ada dengan disertai
berbagai penjelasan yang dapat memberikan pemahan pada anak, sehingga anak
dalam mengikuti aturan tidak merasa tertekan. Demikian juga aturan yang ada hendaknya
dirumuskan dan dipraktekan secar fleksibel, tidak kaku. Tentu saja penerapan
aturanya masih tetap memegang prinsip, sehingga tujuan peraturan atau
tatatertib dibuat dapat dicapai dengan baik.
Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk
diterima sebagai anggota gang mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak pada
usia ini merasa bahwa untuk dapat diterima di dalam geng, mereka harus
konformis sedekat mungkin dengan pola-pola prilaku yang telah disepakati dengan
gang-nya dan siapa saja yang berani menyimpang, mereka akan ditolak
kehadirannya di dalam gank. Dalam suasana yang demikian anak-anak usia ini
dikondisikan untuk terbiasakan berpikir dan bertindak secara konformis, mereka
cendrung tidak berani mengambil resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya
dikembangkan kegiatan-kegiatan di sekolah
yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang divergen, maka mereka
tidak selalu meresponya dengan bersikap positif, karena mereka belum dan tidak
terbiasa mengambil resiko dalam menghadapi perbedaan. Ditambah lagi, konformi
dari pada sikap divergen.
Selama
di sekolah, guru mempunyai peran penting terhadap penyesuaian emosional dan
sosial anak dan terhadap perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan
perkembangan intelektual, pada semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci
kegiatan belajar siswa yang berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat
sekolah dasar. Hal ini mudah dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh
pelajaran dipegang oleh guru kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti
Agama, Olahraga, dan Kesenian yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah
khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan
masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran
guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi
belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan
mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan
kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi
guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah
implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh
Barbed an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1. Pertama-tama
guru perlu memahami diri sendiri,
karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru,
tapi juga bagaimana guru melakukannya.
Mustahil mengharapkan seseorang
dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang lain, jika ia tidak
mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang baik selalu
menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan perasaan-perasaanya sendiri. Guru
perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Anak
berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru yang memiliki kecerdasan
cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas, serta menguasai mata
pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika guru pada saat-saat tertentu
tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab pertanyaan siswanya, adalah
lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah kita cari jawabannya bersama-sama!”
atau “Berilah saya waktu untuk memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih
mendapat penghargaan dan kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal
saja. Mengapa? Karena anak berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan
penalaran yang tinggi, dan suka mempertanyakan segala sesuatu.
Guru perlu juga menguji
perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji atau mempertanyakan
dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat otoriter. Penjelasan
guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan anak mungkin diragukan
oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak senang oleh
pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin tahu anak,
sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru akan meluaskan
dimensi minat anak.
2. Di
samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
Oleh karena itu, guru
yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh informasi dan pengalaman mengenai keberbakatan,
tentang apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak
berbakat, dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat
dapat terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak
berbakat, guru akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan
pendidikan khusus yang terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3. Setelah anak
berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan belajar
sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan dengan ini guru hendaknya
lebih berfungsi sebagai fasilitator belajar daripada sbagai
instructor (pengajar) yang menentukan semuanya. Fungsi pendidik adalah
mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap anak dilahirkan dengan
rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan belajar dari
pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu anak mulai
masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang karena
kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam (berdiferensiasi),
artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika dorongan alamiah ini terhambat
di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan berganti menjadi sikap apatis,
acuh tak acuh. Karena itu, diperlukan motivasi
eksternal (berupa dorongan, pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan
system penghargaan (nilai-nilai prestasi belajar, angka rapor) untuk
menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang cerdas dan berbakat dengan rasa
ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan merasa terhambat dengan kurikulum
yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru yang dapat
diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi peningkatan kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1) Bentuklah pengalaman
belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan menghadapkan masalah-masalah
yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat anak.
2) Perkenankanlah anak untuk
ikut serta dalam menyusun dan merencanakan kegiatan-kegiatan belajar.
3) Berikanlah pengalaman dari
kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak dan kembangkan kemampuan
yang perlu untuk itu.
4) Bertindaklah, lebih sebagai
sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi; jangan paksakan pengetahuan
yang belum siap diterima anak.
5) Usahakan agar
program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan penyelidikan,
percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6) Doronglah
dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta orisinalitas.
7) Biarkan anak belajar dari
kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja selama tidak berbahaya dan
membahayakan).
4. Guru
anak berbakat lebih banyak memberikan tantangan
daripada tekanan. Prakarsa dan
keuletan anak berbakat membuatnya tertarik terhadap tantangan. Ia senang
menguji kemampuan dan penglamannya terhadap tugas yang bermakna baginya. Ia
merasa tertantang untuk menjajaki hal yang sulit dan belum diketahui. Anak yang
berbakat dan kreatif cepat bosan dengan tugas-tugas rutin dan yang hanya
mengulang-ulang.
5. Guru anak
berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi
lebih-lebih proses belajar.
Belajar bagaimana harus menyadari
bahwa belajar (learn) lebih penting
daripada menguasai bahan pengetahuan semata-mata. Anak yang tahu bagaimana
harus belajar untuk seumur hidupnya akan dapat menentukan sendiri apa yang
harus dipelajari.
Macam kegiatan belajar yang lebih
berorientasi kepada proses daripada terhadap produk semata-mata dapat dilihat
dari contoh-contoh berikut ini.
– Pemecahan masalah dengan lebih
menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada jawabannya sendiri.
– Membuat klasifikasi (penggolongan).
– Membandingkan dan mempertentangkan.
– Membuat pertimbangan sesuai dengan
criteria tertentu.
– Menggunakan sumber-sumber (kamus,
ensiklopedi, perpustakaan).
– Melakukan proyek penelitian.
– Melakukan diskusi.
– Membuat perencanaan kegiatan.
– Mengevaluasi pengalaman.
6.
Guru anak berbakat lebih baik
memberikan umpan-balik daripada penilaian.
Agar menjadi orang dewasa yang
mandiri dan percaya pada diri sendiri, anak harus belajar bagaimana menilai
pengalaman dan prestasi belajarnya. Anak yang berbakat cukup mampu melakukan
penilaian diri sejak mereka masuk sekolah. Guru perlu memberi umpan-balik dan
model prilaku, namun seyogyanya anaklah yang menilai diri sendiri.
Anak harus belajar menilai
pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam kaitan dengan kebutuhan
dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik sedangkan penilaian dari luar (oleh orang lain)
disebut evaluasi ekstrinsik. Ini
tidak berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan prestasi anak. Hal
ini perlu agar guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan anak sebagai dasar
untuk membantu meningkatkan prestasinya. Guru dapat memberikan umpan-balik
dengan membuat catatan yang menyatakan dimana letak kesalahan anak dan
bagaimana ia sendiri dapat memperbaikinya. Jika nilai dalam bentuk angka harus
diberikan, maka sebaiknya dilengkapi dengan catatan penjelasan.
7.
Guru anak berbakat harus menyediakan
beberapa alternatif strategi belajar.
Termasuk salah satu hal penting yang
perlu diketahui anak ialah bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai
sasaran atau tujuan, ada macam-macam kemungkinan jawaban terhadap satu masalah,
ada beberapa cara untuk mengelompokkan objek, dan ada beberapa sudut pandang
dalam diskusi. Sering guru menekankan bahwa suatu tujuan atau jawaban hanya
dapat dicapai dengan satu cara, bahwa hanya satu jawaban yang benar terhadap
suatu masalah.
Hendaknya anak diperbolehkan
menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan. Kreativitas akan
berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk menyelidiki. Jika anak
tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang dapat ditempuh,
hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya macam-macam
alternative strategi belajar.
8.
Guru hendaknya dapat menciptakan
suasana di dalam kelas yang menunjang
rasa percaya diri anak serta dimana anak
merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan
keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman untuk mencoba cara-cara baru dan
menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas. Banyak anak yang kreatif
terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat kritik, takut gagal, takut
membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau takut tidak memenuhi
harapan orang tua.
Dengan menciptakan suasana di dalam
kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima dan dihargai, serta guru
menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka akan terpupuk rasa harga
diri anak.
Bagaimana guru dapat menciptakan
suasana seperti ini?
Beberapa saran yang dapat diberikan:
– Guru menghargai kreativitas anak.
– Guru bersikap terbuka terhadap
gagasan-gagasan baru.
– Guru mengakui dan menghargai adanya
perbedaan individual.
– Guru bersikap menerima dan menunjang
anak.
– Guru menyediakan pengalaman belajar
yang berdiferensiasi.
– Guru cukup memberikan struktur dalam
mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes
sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif anak.
– Setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan
pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok.
– Guru tidak bersikap sebagai tokoh
yang “maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
Jelaslah bahwa peran guru sangat
penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa selama di sekolah, tetapi
juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
Kreativitas merupakan faktor penentu keberbakatan di samping tingkat
kecerdasan di atas rata-rata. ‘Namun, Amabile mengatakan bahwa lingkungan yang
menghambat dapat merusak motivasi anak, betapa kuat pun, dan dengan demikian
mematikan kreativitas’ (Munandar, 2004: 223)
Masalahnya ialah bahwa dalam upaya membantu anak merealisasikan potensinya,
sering kita menggunakan cara paksaan agar mereka belajar. Penggunaan paksaan
atau kekerasan tidak saja berarti bahwa kita mengancam dengan hukuman atau
memaksakan aturan-aturan, tetapi juga bila kita memberikan hadiah atau pujian
secara berlebih. Amabile mengemukakan empat cara yang mematikan kreativitas,
yaitu:
Evaluasi
Rogers (Munandar, 2004: 223) menekankan salah satu syarat untuk memupuk
kreativitas konstruktif ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau
paling tidak menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi.
Bahkan menduga akan dievaluasi pun dapat mengurangi kreativitas anak. Selain
itu kritik atau penilaian sepositif apapun meskipun berupa pujian dapat membuat
anak kurang kreatif, jika pujian itu memusatkan perhatian pada harapan akan
dinilai.
Hadiah
Kebanyakan orang percaya bahwa memberi hadiah akan memperbaiki atau
meningkatkan perilaku tersebut. Ternyata tidak demikian. Pemberian hadiah dapat
merusak motivasi intrinsik dan mematikan kreativitas.
Persaingan (Kompetisi)
Kompetisi lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah secara
tersendiri, karena kompetisi meliputi keduanya. Biasanya persaingan terjadi
apabila siswa merasa bahwa pekerjaannya akan dinilai terhadap pekerjaan siswa
lain da bahwa yang terbaik akan menerima hadiah. Hal ini terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.
Lingkungan yang
Membatasi
Albert Einstein yakin bahwa belajar dan kreativitas tidak dapat
ditingkatkan dengan paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman mengikuti
sekolah yang sangat menekankan pada disiplin dan hafalan semata-mata. Ia selalu
diberitahu apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan pada ujian
harus dapat mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat
menyakitkan dan menghilangkan minatnya terhadap ilmu, meskipun hanya utnuk
sementara. Padahal, sewaktu baru berumur lima tahun ia amat tertarik untuk
belajar ketika ayahnya menunjukkan kompas kepadanya. Contoh ini menunjukkan
bahwa jika berpikir dan belajar dipaksakan dalam lingkungan yang amat
membatasi, minat dan motivasi intrinsik dapat dirusak.
1. Kendala
dari Sosialisasi
Apa yang harus dilakukan pendidik? Cara-cara baku yang begitu lama
diandalkan dalam mendidik dan mengajar anak melalui evaluasi, hadiah, kompetisi
dan membatasi pilihan, dalam kenyataan dapat merusak kreativitas. Jika hal itu
ditiadakan, bagaimana kita dapat berhasil dalam menyosialisasikan anak menjadi
orang yang dalam tingkah lakunya sopan, bertanggung jawab dan taat hukum?
Jawabannya ialah bahwa seorang pendidik harus bertindak secara seimbang.
Anak memerlukan pengendalian sehingga mereka merasa aman dalam lingkungan yang
stabil dan andal, tetapi tidak sedemikian jauh bahwa mereka merasa seakan-akan
apapun yang mereka lakukan adalah karena diharuskan. ‘Amabile mengemukakan
bahwa pendidik perlu mentukan batas-batas terhadap perilaku anak didiknya
tetapi sedemikian bahwa mereka dapat mempertahankan motivasi intrinsik mereka’
(Munandar, 2004: 225).
Namun yang membuat perbedaan bukanlah semata-mata apakah anak diberi
pembatasan atau tidak, tetapi bagaimana pembatasan ini diberikan. Jika
anak merasa diawasi, maka motivasi dan kreativitas akan terhambat. Tetapi jika
pembatasan diberikan sedemikian, anak merasa mereka sendiri ingin berperilaku
sebagaimana diharapkan, maka tidak perlu ada dampak penghambat terhadap
motivasi dan kreativitas. Dampak penghambat kreativitas berupa pemberian
penilaian dan hadiah agaknya bergantung dari bagaimana hal itu diberikan.
2. Kendala
dari Rumah
Tidak jarang karena keinginan orangtua membantu anak berprestasi sebaik
mungkin, meraka mendorong anak dalam bidang-bidang yang tidak diminati anak.
Akibatnya ialah, meskipun anak berprestasi cukup baik menurut ukuran standar,
mencapai nilai tinggi, mendapat penghargaan, tetapi mereka tidak menyukai
kegiatan tersebut sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang betul-betul kreatif.
Menurut Amabile (Munandar, 2004: 227) ‘lingkungan keluarga dapat pula
menghambat kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara tepat empat
“pembunuh kreativitas” yaitu evaluasi, hadiah, kompetisi, dan pilihan atau
lingkungan yang terbatas’.
3. Kendala
dari Sekolah
a) Sikap
Guru
Dalam suatu studi, tingkat motivasi intrinsik siswa renda, jika guru
terlalu banyak mengontrol, dan lebih tinggi jika guru memberikan lebih banyak
otonomi.
Beberapa studi menunjukkan Pygmalion Effect, yaitu bahwa
tanpa disadari seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain
mengharapkan ia berperilaku. Guru-guru sekolah dasar diberitahu bahwa anak-anak
tertentu di dalam kelas akan menunjukkan “kemajuan yang luar biasa” dalam
kinerja intelektual selama tahun pelajaran. Dalam kenyataan, nama siswa-siswa
tersebut dipilih secara acak oleh peneliti. Yang mengejutkan ialah bahwa pada
akhir tahun siswa-siswi tersebut betul-betul memperlihatkan kemajuan
intelektual. Kemudian, peneliti menemukan bahwa kemajuan juga terjadi jika guru
mengharapkan siswa meningkat dalam kreativitas.
Menurut Chaplin, harapan guru secara sadar atau tidak sadar dikomunikasikan
kepada siswa, dan konsep diri serta harapan diri siswa dibentuk oleh umpan
balik dari guru. Pygmalion Effect ini juga disebut self-fulfilling
prophesy, yaitu penemuan bahwa tanpa disadari orang berperilaku sebagaimana
mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku (Munandar, 2004:
228).
b) Belajar
dengan Hafalan Mekanis
Pada dasawarsa 1960-an pendukung gerakan “kelas terbuka” (open classroom)
menekankan bahwa metodependidikan tradisional, termasuk menghafal secara
mekanis menghambat kreativitas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa terlalu
banyak pengetahuan merusak kreativitas. Namun, sekarang pendukung dari gerakan
“back to basics” menyatakan bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika
tidak berdasarkan pembelajaran bahan pengetahuan dasar.
Agaknya kedua pandangan tersebut mempunyai segi benarnya. Tidak mungkin
bahwa seseorang mempunyai terlalu banyak pengetahuan untuk dapat menjadi
kreatif. Peningkatan dalam bidang pengetahuan tertentu akan meningkatkan
kesempatan untuk menemukan kombinasi gagasan baru. Namun, mungkin saja bahwa
kreativitas menjadi lumpuh jika pengetahuan dihimpun dengan cara yang keliru.
Salah satu cara yang salah untuk menghimpun pengetahuan adalah dengan
belajar secara mekanis, mengahafal fakta tanpa pemahaman bagaimana hubungan
antara fakta tersebut. Pengetahuan seperti itu dapat berguna untuk memperoleh
nilai tinggi pada tes pilihan ganda, tetapi akan kurang berguna untuk
menghasilkan karya kreatif.
c) Kegagalan
Semua siswa pasti pernah mengalami kegagalan dalam pendidikan meraka,
tetapi frekuensi kegagalan dan cara bagaimana hal itu ditafsirkan mempunyai
dampak nyata terhadap motivasi intrinsik dan kreativitas.
Kegagalan tidak dapat dihindari seluruhnya, dan juga tidak perlu dihindari,
karena kita dapat belajar dari kesalahan dan kegagalan. Bedanya ialah dalam
cara guru membantu siswa memahami dan menafsirkan kegagalan.
d) Tekanan akan
Konformitas
Bukan guru saja yang dapat mematikan krativitas di sekolah. Anak-anak dapat
saling menghambat kreativitas mereka dengan menekankan konformitas. Dampak dari
tekanan teman sebaya nyata jika kita melihat gaya berpakaian ana, dan hiburan
atau kegiatan waktu luang yang disukai. Pada umur sekitar sembilan tahun
tekanan akan konformitas oleh teman sebaya dapat menghambat kreativitas anak.
Penemuan bahwa kreativitas cenderung menurun pada tingkat kelas empat agaknya
berkaitan langsung dengan teman sebaya (Torrance, dikutip Amabile, 1989).
Padahal justru potensi kreatif itu dalam perwujudannya mencerminkan keunkan
seseorang. Seyogianya setiap anak diberi kebebasan untuk “menjadi dirinya”.
e) “Sistem”
Sekolah
Lebih sering orang-orang yang sangat kreatif mempunyai kesulitan di sekolah
karena menurut guru “mereka terlalu kreatif’. Bagi anak yang memiliki
minat-minat khusus dan tingkat kreativitas yang tinggi, sekolah bisa sangat
membosankan. Salah satu ciri anak berbakat kreatif ialah merasa bosan dengan
tugas-tugas rutin.
Dalam tulisannya, Boredom, High Ability and Achievement Joan
Freeman (1993) memberikan saran-saran bagaimana mengatasi rasa bosan anak
berbakat di sekolah. Dari penelitiannya ia memperoleh hasil, bahwa kebosanan
dapat timbul karena cara-cara belajar yang tidak tepat. Cara terbaik untuk
menghindari menurunnya minat dan timbulnya kebosanan ialah dengan meningkatkan
motivasi intrinsik. Bagi siswa berbakat pembelajaran harus menantang, dengan
memberikan kepada mereka bahan pelajaran yang lebih majemuk dan merangsang.
Mempertimbangkan minat khusus anak dan gaya belajarnya merupakan cara yang
efektif untuk melibatkan siswa secara aktif dalam belajar. Pendekatan yang
fleksibel dalam mengajar penting untuk meningkatkan kompetensi anak.
BAB IV
Implikasi dari
perkembangan kreativitas anak terhadap pembelajaran di sekolah dasar adalah
terletak pada perlunya pengembangan KBM sehingga mampu mengembangkan potensi
kreativitas anak. Ketika siswa masih berada pada level yang bawah, seharusnya
mulai mengkondisikan dirinya untuk meningkatkan kemampuan kreatifnya tanpa
harus menunda-nundanya. Oleh karenanya guru dituntut bertanggung jawab untuk
menjadi fasilitator dan pembimbing dalam mengajar dan memanaj kelas.
Berikut ini Donald J. Treffinger (Semiawan, 1999: 105) mengemukakan
sejumlah pengalaman belajar yang dapat dikembangkan oleh guru, agar memiliki
kekuatan untuk mengembangkan kreativitas anak. Pertama, menciptakan
tugas yang dikehendaki anak-anak, sehingga memungkinkan anak-anak mampu
menunjukkan keterlibatan personal yang tinggi. Apabila mereka merasa terlibat
dalam penciptaan tugas itu, kiranya mereka dapat menyelesaikannya dengan penuh
antusiasme.
Kedua, kegiatan pembelajaran hendaknya dilandasi oleh rasa ingin
tahu siswa (curiosity), oleh karenanya dalam mengembangkan segala
pengalaman belajar hendaknya didasarkan pada minat dan kepedulian anak, lebih
konkritnya hendaknya lebih dilandasi dengan motif intinsik anak.
Ketiga, penciptaan proses pembelajaran hendaknya memungkinkan
anak-anak dapat mengembangkan sensitivitasnya terhadap berbagai masalah dan
tatangan. Dalam kondisi demikian, kemampuan melakukan diagnosis perlu
dikembangkan.
Keempat, kegiatan pembelajaran yang perlu ditegakkan adalah
pengalaman belajar yang memberikan kelonggaran bagi anak untuk melakukan
elaborasi dalam berpikir dan pengembangan kemampuan berpikir divergen, sehingga
anak-anak tidak terbiasa dihadapkan pada satu jawaban benar setiap menjumpai
persoalan, melainkan mereka akan terkondisikan dalam kehidupan yang selalu
mempertimbangkan berbagai ide yang berbeda dan kemungkinan alternatif jawaban
terhadap setiap persoalan.
Kelima, selama proses pembelajaran hendaknya dihindari perilaku
judgmental dari guru, sebaliknya perlu dikembangkan sikap apresiatif. Evaluasi
terhadap anak hendaknya dikembangkan standar yang didasarkan pada tugas dan
tujuan serta kemampua anak, sehingga evaluasi lebih bersifat sangat personal.
Dengan kata lain untuk kegiatan evaluasi perlu dihindari adanya standar
eksternal yang sepenuhnya ditentukan oleh subyektivitas guru.
Keenam, pengalaman belajar yang diberikan kepada anak hendaknya
memungkinkan anak bebas melakukan eksperimen, jika perlu anak dapat melakukan
kegiatan eksperimen berkali sesuai dengan kebutuhan. Adalah sangat terpuji,
sekiranya selalu diusahakan dapat memberikan kelonggaran kepada para siswa
untuk menemukan kesalahan, dan mereka dapat belajar dari kesalahan, sehingga
mereka dapat menemukan solusinya sendiri.
Ketujuh, kegiatan pembelajaran yang positif diharapkan dapat
memberikan kesempatan yang banyak bagi para siswa untuk menentukan pilihannya
sendiri. Selanjutnya mereka dapat merumuskannya secara menarik dan
menyenangkan, sehingga alternatif solusi itu tidak hanya menyenangkan dirinya
saja, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain.
Kedelapan, selama proses pembelajaran, anak-anak perlu sekali
dihadapkan kepada persoalan riil dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hasil
pemecahan masalah tersebut dapat di-sharing-kan kepda orang lain,
terutama prosuk-produk kreatif.
Akhirnya, pengalaman belajar yang benar-benar perlu mendapat penekanan
adalah pengalaman belajar yang mampu menghantarkan para siswa untuk memecahkan
suatu masalah yang dapat mengarahkan mereka mengidentifikasikan
tantangan-tantangan baru.
Selain daripada itu selama kegiatan pembelajaran, guru diharapkan dapat
menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media, serta menggunakan
pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi anak didik lebih sebagai
subyek daripada obyek pembelajaran, serta mengadakan evaluasi yang tepat,
sehingga semuanya mampu mendukung pengembangan kreativitas anak.
Dalam pembelajaran di sekolah, terutama di sekolah dasar, dapat pula
diterapkan cara belajar dan mengajar kreatif agar kreativitas anak dapat
berkembang dan mampu menunjang proses belajar anak, sehingga menunjukkan hasil
belajar yang baik.
Dalam proses belajar kreatif digunakan
baik proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan
menghasilkan banyak alternative penyelesaian) maupun proses berpikir konvergen
(proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat).
Pendidikan formal sampai saat ini
terutama melatih proses berpikir konvergen, sehingga kebanyakan siswa terhambat
dan tidak berdaya menghadapi masalah-masalah yang menuntut pemikiran dan
pemecahan masalah secara kreatif.
1. Menciptakan
Lingkungan di dalam Kelas yang Merangsang Belajar Kreatif
Belajar kreatif tidak timbul secara
kebetulan tetapi memerlukan persiapan, antara lain dengan menyiapkan suatu
lingkungan kelas yang merangsang anak-anak untuk belajar secara kreatif.
Menurut Feldhusen dan Treffinger
(1980), suatu lingkungan kreatif dapat tercipta dengan:
a.
Memberikan pemanasan.
b. Pengaturan
fisik.
c.
Kesibukan di dalam kelas.
d. Guru
sebagai fasilitator.
2. Mengajukan
dan Mengundang Pertanyaan
Dalam proses belajar mengajar,
diperlukan keterampilan guru baik dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa
maupun dalam mengundang siswa untuk bertanya.
a.
Teknik bertanya
Agar siswa menjadi pemikir yang
baik, kita harus memberikan sesuatu untuk dipikirkan. Metode untuk membuat anak
berpikir adalah dengan mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun mengajukan
pertanyaan yang menuntut anak untuk
berpikir memerlukan lebih banyak pemikiran dan persiapan oleh guru
daripada mengajukan pertanyaan yang menuntut suatu jawaban (berpikir
konvergen).
Pertanyaan yang merangsang pemikiran
kreatif adalah pertanyaan divergen atau terbuka.
b. Metode
diskusi
Melalui metode diskusi, anak
mendapat pengalaman dan latihan mengungkapkan diri secara lisan dan
berkomunikasi dengan orang lain dalam mmenghadapi suatu masalah. Diskusi
memungkunkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis, dan kreatif, serta
kemampuan memberikan pertimbangan dan penilaian.
Dalam metode diskusi, peran guru
sangat menentukan keberhasilan. Terutama bagi anak berbakat, hendaknya guru
dapat menghindari peransertanya yang terus-menerus agar prakarsa dan
kemandirian anak dapat berkembang.
c.
Metoda inquiry-discovery
Pendekatan inquiry (pengajuan
pertanyaan, penyelidikan), dan discovery (penemuan) dalam belajar penting dalam
proses pemecahan masalah. Proses inquiry mulai jika siswa menanyakan sesuatu
sehubungan dengan masalah yang dihadapi. Guru dapat menyusun pengalaman belajar
siswa sedemikian rupa sehingga mereka terdorong bertanya. Begitu
siswa mulai menyelidiki (mencari keterangan) maka ada minat intrinsik (dari
dalam) untuk belajar melalui proses discovery (penemuan).
Mengajar inquiry-discovery merupakan
metode mengajar yang tak langsung. Guru menjadi pengarah dan fasilitator yang
harus memberikan informasi dan bahan sesuai kebutuhan siswa akan informasi yang
relevan (bersangkut-paut) dengan tugas. Hal ini dapat berlangsung dalam
kelompok kecil melalui diskusi dan bermain peran. Dalam semua situasi, siswa
aktif terlibat dalam situasi belajar.
d. Mengajukan
pertanyaan yang menantang
Salah satu cara untuk merangsang
daya piker kreatif adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
menantang (provokatif), antara lain dengan menanyakan apa
kemungkinan-kemungkinan akaibat dari suatu situasi yang memang belum pernah
terjadi, tetapi siswa harus membayangkan apa saja kemungkinan-kemungkinan
akibatnya andaikata kejadian atau situasi itu terjadi disini.
Dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan seperti ini siswa dirangsang mengimajinasi
gagasan-gagasan baru atau menjajaki kemungkinan-kemungkinan akibat dari suatu
keadaan.
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
Seperti yang kita ketahui, anak-anak yang kreatif biasanya selalu ingin
tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang
kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa
percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari
pada anak-anak pada umumnya. Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa
humor yang tinggi, dapat melihat masalah dari berbagai sudut tinjau, dan
memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep, atau
kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Mengenai perkembangan kreativitasnya, Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk
mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia
mereka. Pertama, pada usia 5–6
tahun ketika anak-anak siap memasuki sekolah, mereka belajar bahwa meraka harus
menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang
dewasa ( orangtua dan guru). Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika
keinginan anak untuk diterima sebagai anggota gang mencapai puncaknya.
Beberapa peran sekaligus implikasi yang dapat diterapkan guru demi
meningkatkan perkembangan kreativitas anak didik diantaranya disimpulkan oleh
Barbed an Renzulli sebagai berikut (1975) :
1.
Pertama-tama guru perlu memahami diri
sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang
dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya.
2.
Di samping memahami diri sendiri,
guru-guru perlu memiliki pengertian
tentang keberbakatan.
3.
Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan
belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
4.
Guru anak berbakat lebih banyak
memberikan tantangan daripada tekanan.
5. Guru anak berbakat tidak hanya
memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi lebih-lebih proses
belajar.
6.
Guru anak berbakat lebih baik
memberikan umpan-balik daripada penilaian.
7.
Guru anak berbakat harus menyediakan
beberapa alternatif strategi belajar.
8.
Guru hendaknya dapat menciptakan
suasana di dalam kelas yang menunjang
rasa percaya diri anak serta dimana anak
merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan
keputusan.
Jelaslah bahwa peran guru sangat
penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa selama di sekolah, tetapi
juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
Berdasarkan kenyataan dilapangan, kita dapat menemukan
beberapa pengajar yang masih kurang memperhatikan pengembangan kreativitas anak
didiknya, maka dari itu kita sebagai calon-calon pendidik masa depan harus
mempersiapkan sejak dini rencana-rencana pengajaran yang merujuk pada
pengembangan kreativitas anak-anak didik dengan berbagai teori dan
peran-perannya yang telah penulis ungkapkan pada makalah ini demi kemajuan
kreativitas anak-anak bangsa dimasa yang akan datang.
Munandar, Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Munandar, Utami. (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.
Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya.
Semiawan, Conny R. (1999). Perkembangan dan Belajar Peserta Didik.
Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Diposting oleh SITI LESTARI PUKUL 15:20
0 Komentar Blog: